17 Foto Orang Jawa Kuno. Namun bagi orang pada umumnya,. Kartu pos kuno seri foto orang indonesia jaman dahulu. Tak ayal hal tersebut membuat bahasa jawa banyak disukai orang. Kata bijak bahasa jawa kuno inipun cocok dijadikan sindiran . Gubernur jawa tengah, ganjar pranowo ramah menanggapi permintaan foto bersama dari para . Ilustrasi nama bayi Jawa kuno. Foto ShutterstockAdakah di antara kamu yang sedang mencari nama bayi Jawa kuno untuk nama calon anakmu? Kebetulan Mama baru aja mengumpulkan beberapa nama bayi Jawa kuno yang sepertinya bisa kamu jadikan sebagai bayi Jawa kuno menurut Mama punya makna dan penyebutan yang indah. Beberapa orang mungkin menganggap kalau nama dari bahasa daerah itu kuno dan ketinggalan zaman. Tetapi sebenarnya enggak sama sekali!Nama bayi dari bahasa daerah juga enggak kalah baiknya dengan nama yang modern, Ma. Nama-nama ini punya arti nama yang penuh dengan doa dan harapan baik, kok. Salah satu teman Mama juga ada lho yang sengaja memberikan nama bayi Jawa kuno untuk semua anaknya. Katanya sih biar beda dan kalau kamu juga sedang mencari nama bayi Jawa kuno, berikut beberapa nama untuk anak laki-laki dan anak perempuan yang bisa kamu jadikan Bayi Jawa Kuno untuk Anak Laki-lakiIlustrasi nama bayi Jawa kuno untuk anak laki-laki. Foto Pixabay2. Adanu Jadi cahaya atau penerangan bagi yang Adhinatha Paling Bena Berkilau dan Byakta Tampak dan Biantara Penguasa Bryatta Menjauhi diri dari Bhadrika Gagah Cayapata Gugusan Cakara Yang Cipta Anak laki laki yang baik Chalis Terbebas dari ancaman, Dierja Sangat Dewandaru Yang memberi Endra Kelak jadi orang Fusena Perpaduan Fazaira Lahir di waktu Gamya Tingkah laku yang Ganendra Pasukan Giandra Sentosa dan Gumilar Anak laki laki yang terus Hanenda Orang yang pantang Hardiyata Pemimpin yang memberi Hestamma Tangannya Idhang Orang yang bisa jadi Indurasmi Sinar Ihatra Kebaikan di dunia Jagadita Kesejahteraan Janitra Berderajat Laksana Pertanda yang Mahasura Pejuang Bayi Jawa Kuno untuk Anak PerempuanIlustrasi nama bayi Jawa kuno untuk anak perempuan. Foto Shutterstock3. Ananta Pemimpin yang Apsarini Layaknya Aristawati Pintar dan Arkadewi Bidadari dalam Ayu Cantik dan anggun seperti putri Batari Cantik layaknya Cahyati Hatinya Candramaya Cantik seperti bulan Chalya Damayanti Dewi Bidadari Diah Anak perempuan yang Dian Penerang hati orang Endah Cantik dan Erina Ketajaman pikiran dan Garwita Kebanggaan orang Gayatri Perempuan yang memiliki tiga Handayani Memberi Hapsari Perhiasan yang Hardiyanti Perempuan berhati Hesti Indriana Kecantikan yang itu dia, Ma, beberaoa inspirasi nama bayi jawa kuno. Adakah yang menarik dan cocok, Ma? GambarOrang Jawa Kuno dari Sumber Asing Non Eropa. 4.1k Views. Share. Lukisan, gambar, maupun sketsa tentang nusantara jaman dulu yang sering saya temui kebanyakan berasal dari sumber Eropa. Gambar-gambar tersebut berasal dari dokumen milik pedagang barat yang mencatat transaksi dagang, ilmuwan dan naturalis barat yang mendokumentasikan Lukisan, gambar, maupun sketsa tentang nusantara jaman dulu yang sering saya temui kebanyakan berasal dari sumber Eropa. Gambar-gambar tersebut berasal dari dokumen milik pedagang barat yang mencatat transaksi dagang, ilmuwan dan naturalis barat yang mendokumentasikan penelitian tentang satwa atau penduduk di negeri asing, pengelana yang menerbitkan catatan perjalanan, perwira yang menulis laporan tentang aksi militer pasukannya kepada atasan, serta serdadu yang menuangkan isi hatinya dalam buku harian. Selain sumber sejarah yang sifatnya kebetulan’ di atas, ada banyak litografi yang dikerjakan oleh siswa pelukis yang mendapat pelatihan dari angkatan laut Belanda, maupun pelukis profesional yang sengaja didatangkan dari negeri kincir angin untuk memenuhi permintaan orang-orang kaya di Batavia baca Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi . Meskipun eksotis, kaca mata orang Eropa kadang kurang pas, jadi bukan main girang hati saya saat menemukan sejumlah ilustrasi yang dibuat oleh seniman Cina atau Jepang. Karya-karya mereka ini menawarkan cara yang berbeda untuk menikmati sejarah. Portugis adalah orang Eropa pertama yang mencapai Jepang pada 1543. Inggris datang berikutnya lalu disusul Belanda pada tahun 1600. Untuk membendung upaya penyebaran agama Kristen yang dilakukan Inggris dan Portugis, penguasa Jepang menerapkan Sakuko, yakni praktik isolasi diri yang menutup kontak dengan dunia luar. Sakuko dilaksanakan hingga 220 tahun lamanya dan baru berakhir tahun 1853. Hanya Cina dan Belanda, bangsa Eropa yang hanya memikirkan berdagang dan tidak tertarik mengirim misionaris dan penginjil, yang masih diijinkan berdagang secara terbatas di pelabuhan Dejima, sebuah pelabuhan perdagangan kecil di Nagasaki. Pada periode inilah Belanda masuk ke nusantara sehingga terdapat figur orang Jawa pada lukisan-lukisannya. Ilustrasi-ilustrasi ini muncul dalam beragam gaya, tetapi semua menggambarkan orang Jawa dan orang Bali sebagai budak Belanda, sering memegang payung atau memegang beberapa barang lainnya. Wah, ngenes banget ya orang kita banyak jadi jongos sejak duluuuu sekali 🙁 Orang-Belanda-dan-budak-Jawa-yang-menawarkan-arang-pada-burung-kasuari Qing Imperial Illustrations of Tributary People adalah kumpulan studi deskriptif dan etnologis yang berisi catatan tentang negara-negara anak sungai dan seterusnya serta berbagai kelompok etnis pada masa pemerintahan Qing abad 18. Berikut pengamatan seniman Cina tentang pakaian yang dikenakan penduduk nusantara dari buku itu. Pakaian orang Sumatera digambar oleh seniman Cina abad 18 Pakaian orang Jawa digambar oleh seniman Cina abad 18 Pakaian orang Banjarmasin digambar oleh seniman Cina abad 18 Sumber Munko Kumakuma ( saffron) dibawa dari Mediterania. Adapun ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania. Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Laos adalah tanaman Jawa. Relief pada Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu. Foto Dok, Wikimedia Commons. Proses penyebaran agama Hindu hingga ke nusantara juga melebarkan pengaruh tradisi dan budaya India. Salah satunya ajaran seni bercinta atau Kama Sutra yang dikenal sebagai Asmaragama dalam budaya Jawa. Dalam kamus Bausastra Jawa, kata asmara berarti 'cinta'. Sementara kata gama bermakna 'agama' atau 'ajaran', yang secara semantis bermakna wajib dipatuhi. Sehingga dalam budaya Jawa, Asmaragama tak sekadar menyoal erotisme tapi juga bagian dari ajaran yang sakral dan sarat etika. Ajaran Asmaragama banyak diceritakan dalam naskah Jawa kuno sekitar abad-18. Masyarakat Jawa pada saat itu masih sangat kental dengan sinkretisme-perpaduan paham dari suatu kepercayaan-budaya Hindu-India dan memandang seks sebagai bagian dari laku atau perjalanan cinta asmara yang menjadi bagian dari seksualitas dipandang sebagai bentuk kesucian. Tujuannya untuk mencari wiji sejati atau generasi penerus yang mempunyai keyakinan dan satu relief erotis pada Candi Sukuh. Foto Dok. Wikimedia Commons. Terlebih pada masa kejayaan keraton Jawa, seksualitas menjadi bagian integral dalam kehidupan dan seni budaya Jawa. Sebagai contoh, Kama Sutra memiliki makna fisolofis dalam dunia pewayangan, di mana kata kama diartikan sebagai 'sperma'. Orang yang suka "bermain" sperma digambarkan sebagai tokoh Kama Salah-nama kecil tokoh wayang Batara Kala-yang berarti sperma yang disalahgunakan. Orang yang seperti Kama Salah memiliki sifat kekanak-kanakan, egois, dan tidak mawas diri dalam hal seksualitas sehiggga bisa merusak harmoni pujangga Jawa klasik juga menulis sumber literasi yang mengungkapkan sisi erotis manusia dan ajarannya agar menjadi referensi dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran seksologi Jawa salah satunya terdapat pada Serat Centhini yang ditulis atas perintah Sunan Paku Buwana V di Surakarta pada pertengahan abad Serat Centhini, seks menjadi salah satu topik yang dibahas secara lugas, mulai dari cara berhubungan seks dengan letak-letak genital yang sensitif, waktu yang tepat untuk bersenggama dengan sistem kalender Jawa, resep pengobatan seksual, hingga mantra seksual. Sementara naskah-naskah klasik lainnya seperti Serat Candrarini, Serat Wulang Putri, dan Serat Nitisastra berisi informasi tentang seksualitas wayang Arjuna. Foto Dok. Wikimedia Commons. Dalam cerita wayang, tokoh Arjuna-salah satu tokoh Pandawa, putra Raja Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi Talibarata-memiliki kekuatan memikat hati wanita yaitu Aji Asmaragama. Kekuatan ini merupakan bagian terakhir dari 5 tahapan yang harus dilakukan sebelum menggunakan Aji Asmaragama, sehingga memiliki nilai filosofis sebagai panduan dalam berumah tangga. Berikut penjelasannya1. Asmaranala, yang bermakna kedua insan yang bercinta sebaiknya dilandasi rasa cinta kasih dari lubuk hati masing-masing. Hal ini mengajarkan seks bukan sekadar menyalurkan hasrat birahi, tapi perpaduan dua hati yang saling mencinta. 2. Asmaratura, maksudnya pasangan yang saling mencintai harus saling memiliki rasa kebanggaan terhadap pasangannya. Ini bisa dilihat salah satunya dari ketertarikan kepada kecantikan dan ketampanan kedua belah Asmaraturida, yang menyimbolkan dalam kehidupan suami istri, harus diselingi dengan gurau dan canda selama tidak berlebihan. Tak jarang guyonan dalam berumah tangga bisa menjadi jalan awal untuk bercinta. 4. Asmaradana, tahapan yang kekuatannya terletak pada kata-kata indah atau sesuatu yang menyentuh hati. Maksudnya, bisa saja memberikan puisi, lagu, atau syair untuk pasangan, atau bila tak terbiasa dengan kata-kata romantis, bisa saja memperlakukan pasangan secara istimewa. 5. Asmaratantra, tahap ini mengajarkan dalam berumah tangga harus konsisten dalam memberikan sentuhan kasih sayang, terutama saat melakukan hubungan seks. Apalagi setelah memiliki keturunan, kebiasaan yang memantik gairah harus Asmaragama, konon dalam tahap ini para raja dahulu harus bersemedi dan membersihkan diri sebelum berhubungan intim, sementara permaisuri mereka mandi, berdandan, dan wangi. Dalam konteks sekarang, tahap ini mengajarkan suami istri mesti membersihkan diri sebelumnya berhubungan intim, seperti dalam agama Islam disunahkan wudu, salat sunah berjamaah, dan berdoa agar diberikan keturunan 2011. Tata Hubungan Pria Wanita dalam Pandangan Budaya Jawa. Universitas Negeri Sugeng. 2016. Makna Simbolisme dalam Mantra Asmaragama Sang Arjuna. Semarang Unisbank. Yuk intip seperti apa orang Jawa Kuno menikah! Menikah merupakan penyatuan laki-laki dan perempuan menjadi sepasang suami-istri. Dalam pernikahan ternyata ada hal penting yang menjadi syarat utuhnya sebuah pernikahan yaitu saling mencintai dan saling setia terhadap pasangannya. Uniknya, cerita bertemakan kesetiaan cinta sudah Ilustrasi Gajah Mada. Foto Gunawan Kartapranata/wikimedia commonsBudaya Jawa mengenal penamaan diri yang diambil berdasarkan nama alam, religi, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Sumber karya sastra Jawa Kuno, umumnya cerita-cerita panji, banyak memuat nama-nama tokoh yang menggunakan nama diri dari nama binatang. Misalnya ada Kebo Kanigara, Kidang Walengka, Banyak Kapuk, Gagak Sumiring, Kidang Glatik, juga Gajah Mada yang tentu familiar di telinga orang Indonesia.“Tak hanya di cerita panji nama-nama semacam ini juga sebenarnya cukup banyak ditemui dalam nama-nama tokoh pada karya sastra seperti Pararaton dan Ranggalawe,” kata Sasongko, ahli epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia PAEI dalam Diskusi Epigrafi Nusantara yang diadakan oleh PAEI pekan saat ini, studi tentang penggunaan nama hewan untuk nama orang pada zaman Jawa Kuno menurut Sasongko masih sangat terbatas. Namun topik ini sempat disinggung dalam tulisan beberapa peneliti Pigeaud, seorang ahli sastra Jawa dari Belanda, mengatakan bahwa fenomena penamaan ini terkait dengan panji-panjian bendera prajurit yang bergambar binatang. Setiap prajurit, menandai apa yang menjadi miliknya dengan gambar binatang.“Oleh karena itu, penamaan diri prajurit dengan nama binatang ini juga bersifat heraldic seni dalam menciptakan dan menghias lambang,” kata Pigeaud, ada juga de Caparis, seorang filolog dari Belanda yang menyepakati temuan Pigeaud. Dia mengatakan, bahwa fenomena penamaan ini dikaitkan dengan identitas mekasirkasir, istilah yang berasal dari kata kasir-kasir yang artinya panji-panjian atau Casparis juga menambahkan, penamaan nama depan diri dengan nama Gajah, Menjangan, Macan, dan Tikus, pada masa Kediri-Majapahit mengindikasikan golongan kasta ksatria atau profesi ketentaraan waktu menurut Edi Sedyawati, penulis yang juga arkeolog Indonesia, menyebutkan bahwa pemakaian nama diri dari nama binatang dan penyebutan titel makasirkasir dalam prasasti masa Kediri mengindikasikan golongan panji-panjian seseorang yang seringkali ditandai oleh lambang bergambar binatang.“Jadi pendapat Pigeaud, de Casparis, dan Sedyawati ini kurang lebih sama poinnya, dan cakupan bahasannya pun dari masa Kediri sampai Majapahit,” paling baru dituliskan oleh Agus Aris Munandar, guru besar UI di bidang arkeologi yang pada 2010 menuliskan bahwa dalam kaitannya dengan tokoh Gajah Mada, nama binatang yang dipakai sebagai nama depan merupakan bentuk representasi diri dari hewan tunggangan dewa Hindu, yakni Airawata yang merupakan tunggangan dewa Binatang Penghuni Ekosistem JawaDalam penelitiannya tentang topik yang sama, Sasongko mendapat kesimpulan bahwa nama-nama binatang yang digunakan oleh orang zaman Jawa Kuno sebagai nama diri kebanyakan adalah nama hewan endemik pulau Jawa atau hewan yang pernah mendiami pulau temuannya, nama binatang yang paling banyak digunakan sebagai nama diri secara berturut-turut di antaranya ada Kebo, Gajah, Gagak, Lembu, Macan, Menjangan, Minda, Banyak, Bandeng, Iwak, Katak, Kuda, Layar, Tikus, Anjing, Asu, Babi, Burung, Hayam, Kadal, Kancil, Kura, Lele, dan Lutung.“Menurut saya, ekosistem tampaknya cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini,” ujar itu, nama-nama seperti Makara, Naga, Sinha, Mahisya, menurutnya terpengaruh dari kebudayaan India. Selain faktor ekosistem, budaya agrikultur masyarakat Jawa Kuno waktu itu juga turut mempengaruhi penamaan diri. Hal itu ditandai dengan adanya nama-nama seperti Kebo, Sapi, Minda, Lembu, Banyak, Hayam, Babi, dan kemunculan nama-nama ini menurutnya ditandai dari masa Rakai Pikatan abad ke-9 M sampai masa Majapahit akhir atau awal abad ke-16 M. Sedangkan gejala terbanyak ditemukan pada masa Krtanegara, Kroncaryyadipa, dan Sarwweswara. Atau dari masa Kadiri pertengahan hingga Singhasari akhir.“Ini mungkin dapat dihubungkan dengan politik ekspansi atau diplomasi dari Krtanegara. Itu politik perluasan wilayah di luar pulau Jawa atau yang dikenal dengan Cakrawala Mandala Dwipantara yang melibatkan unsur-unsur militer,” mengacu pada konsep makna asosiatif Staffan Nystrom, nama-nama diri yang berasal dari nama binatang dapat dipersepsikan dengan wahana atau kendaraan dewa atau tokoh binatang mitologis Hindu-Buddha dan binatang tertentu yang dihargai dalam kebudayaan Jawa Kuno. Sehingga, nama binatang tertentu dapat diasosiasikan dengan dewa tertentu.“Jadi menurut saya para penyandangnya barangkali meyakini dan mengharapkan kekuatan dari sifat dewa atau hewan mitologi Hindu-Buddha tertentu termanifestasi dalam dirinya melalui penamaan diri dari nama binatang yang berasosiasi,” kata dan representasi kekuatan tersebut juga ada kemungkinan berlaku kepada hewan-hewan sakral dalam kepercayaan Jawa Kuno. Berdasarkan pencarian terhadap arti penting binatang dalam kebudayaan Jawa Kuno, nama Kebo, Hayam, Manjangan, dan Macan, merupakan hewan yang dianggap sakti dan mengandung kekuatan magis sehingga dijadikan persembahan untuk menangkal kekuatan jahat atau dikeramatkan karena dianggap sebagai penghubung dengan roh leluhur dan dunia umum, motivasi penamaan diri dengan nama binatang pada masa Jawa Kuno karena binatang-binatang tertentu dihargai.“Sebab dianggap memiliki peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga menempati tempat istimewa di hati pemakainya,” itu menurutnya dipengaruhi oleh keterkaitannya dengan dewa-dewa, kedudukannya dalam mitologi Hindu-Buddha, sifat teladan yang tergambar dalam fabel-fabel keagamaan, serta perannya dalam kebudayaan masyarakat Jawa Kuno.“Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan apresiasi budaya masyarakat Jawa Kuno terhadap alam sekitar,” ujar Sasongko. Widi Erha Pradana / YK-1
Kamudapat ikut melestarikan kebudayaan Jawa. Kamu pun bisa berbagi kata-kata pepatah Jawa kuno kepada orang lain sehingga mereka mendapatkan pencerahan yang sama. Berikut 30 kata-kata pepatah Jawa kuno, yang dapat kamu jadikan sebagai suntikan motivasi dan inspirasi, seperti dirangkum dari Narasi Inspirasi dan Liputan6, Senin (3/8/2020).
Prajnaparamitha. Foto dokumentasi Museum Nasional. KEN Angrok terperangah ketika tanpa sengaja melihat betis Ken Dedes. Terlihatlah bagian rahasianya yang bersinar. “Jika ada perempuan yang demikian anakku, perempuan itu namanya nariswari. Dia adalah perempuan yang paling utama, anakku,” jawab Dang Hyang Lohgawe ketika ditanya Ken Angrok dalam naskah Pararaton. Perempuan Jawa Kuno memiliki tipe-tipe tertentu, dari paling utama sampai paling buruk. Setidaknya ada empat tipe perempuan yang dibagi bukan hanya dari segi fisik, tapi juga perangainya. Menurut Sejarawan Suwardono kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India. “Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal,” tulis Suwardono dalam Tafsir Baru Ken Angrok. Empat tipe perempuan antara lain padmini, citrini, sankini, dan hastini. Tipe pertama, padmini memiliki ciri fisik matanya seperti mata kijang dengan ujung-ujung kemerahan; hidungnya kecil dan bentuknya bagus; wajahnya bagaikan bulan purnama yang keemasan seperti bunga cempaka; lehernya halus dan luwes; buah dada yang penuh dan tinggi; pusarnya dikelilingi tiga garis lipatan; kulitnya halus seperti kelopak bunga sirsa; suaranya manis mengalun; kalau jalan seperti angsa; wataknya pemalu, menyenangkan, pemurah, setia, memiliki rasa keagamaan, dan bertingkah terhormat. Tipe kedua, citrini memiliki tinggi badan sedang, ramping, dengan pinggul besar; rambutnya hitam lebat; matanya lincah dengan bibir yang penuh seperti buah bimba; lehernya membulat seperti siput dan luwes; dadanya besar dan berat dengan badan yang lentur; suaranya seperti suara merak; jalannya seperti gajah. Tipe ini tidak begitu tinggi sifat spiritualnya. Namun, ia mahir dan bercita rasa tinggi dalam kesenian. Ia suka mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus. Ia pandai bicara dan bebas mengutarakan pendapat. Pandai mengatur urusan rumah tangga. Pun senang dikagumi laki-laki. Tipe ketiga, sankini, memiliki ciri-ciri berbadan kurus, tinggi, kekar, berdarah hangat, dengan lengan dan tungkai yang panjang; pinggangnya besar dengan buah dada yang kecil; di bawah kulitnya yang sawo matang terlihat urat-urat nadi; wajahnya berbentuk lonjong dan mendongak; suaranya serak; kalau berjalan cepat seperti terburu-buru; ia cerdik juga sopan. Meski begitu, perempuan tipe ini selalu mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri; ia egois namun tetap pandai bersikap seolah pemurah; ia punya sifat keras kepala dan buruk hatinya, namun mampu menyembunyikannya. Ia banyak bicara dan banyak makan. Tipe terakhir, hastini, bertubuh pendek, gemuk, buruk rupa; mulutnya besar dengan bibir yang tebal; matanya kecil dan merah; wajahnya pucat, tidak bersinar; lehernya pendek atau kalau panjang bentuknya bengkok; kalau berjalan pelan dan tidak enak dilihat; sifatnya kejam dan tak punya malu. Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, keempat tipe perempuan mungkin saja mewakili empat kasta dalam Hindu Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Putri yang digambarkan dalam teks sastra dan relief candi masuk ke dalam tipe citrini. Sementara para pengiring putri dan putra raja atau para emban dimasukkan dalam kriteria hastini. Hal itu dicontohkan dengan perkawinan antara Semar dan Nini Towok dalam teks Sudamala. Keduanya digambarkan sangat bernafsu dalam seks. Nini Towok digambarkan jalannya pelan dan perutnya gombyor. Dalam relief kisah Arjunawiwaha di Gua Selomangleng, Tulungagung misalnya, tokoh Panakawan, baik perempuan maupun laki-laki digambarkan berbadan serba gemuk dengan mulut lebar dan bibir tebal. Contoh perempuan tipe padmini terdapat dalam teks Sri Tanjung. Ia merupakan perempuan yang tinggal di sebuah wanasrama. Ini mengacu pada kasta Brahmana. Ia digambarkan pula sebagai perempuan berkulit halus, cantik, tenang, dan jalannya seperti angsa. Meski begitu, ada perbedaan penggambaran putri raja dalam teks tadi dengan prasasti. Jika dalam teks sastra yang sesuai dengan teks India mereka masuk ke dalam tipe citrini, sedangkan dalam prasasti mereka dimasukkan dalam tipe padmini. Itu seperti deskripsi dalam Prasasti Kayumwunan 824 M yang menyebut Pramodyawarddhani, permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang Mataram Kuno cara berjalannya seperti angsa, suaranya bagaikan tekukur, matanya bagaikan menjangan. Ciri ini lebih mirip dengan tipe padmini. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Prasasti Pucanan 1037 M. Prasasti ini melukiskan Sri Isanatunggawijaya bagaikan seekor angsa yang mempesona karena tinggal di telaga Manasa yang suci. “Mungkin karena Pramodhawarddhani maupun Isanatunggawijaya adalah putri raja yang sangat taat pada agama sehingga lebih pantas dimasukkan ke dalam tipe padmini atau mereka tipe perempuan paling baik yang di dalam bahasa Jawa disebut dengan padmanagara,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa. . 459 369 323 69 92 229 402 477

foto orang jawa kuno